Ajakanmu itu menyulitkanku. Kita baru akan ke kota itu seminggu lagi tapi ketika pintamu itu kau ungkapkan, seketika jantungku berdetak cepat. Kau tahukan apa yang terjadi bertahun-tahun kala itu?
Keberadaan aku yang tidak ia anggap, hidupku yang terlantar tanpa sedikitpun rasa iba dia berikan. Dalam kartu keluarga, namaku tertulis sebagai anak ke empat (sang anak bungsu), tetapi hari-hariku bagai orang asing baginya. Pertanggungjawaban seorang ayah dalam bentuk menafkahi anaknya tidak ia lakukan. Entah apa yang salah dengan keberadaanku. Aku, dia perlakukan beda dari yang lain.
Hanya satu yang ku syukuri saat itu, karena aku bertemu denganmu. Kau bagai malaikat yang Tuhan kirim untuk berada pada masa sulitku. Tapi sayang bisakah kita tunda pintamu ini?
***
"Sayang, dah siap??" Tanya Vina
"hah?? itu apa?" balasku bertanya
"Sedikit oleh-oleh untuk ayah, pasti dengan kondisinya saat ini, telur, beras, mie instans ini sangat penting untuknya"
"Untuk apa kau belikan itu?!"
"Sayang, kalau kau bersikap yang sama, apa bedanya kau dengan ayah? Ingat, bagaimanapun dan apapun yang sudah terjadi, ia tetap ayahmu"
Tanpa banyak kata, aku menyetujui niat istriku.
Jujur, ini tak mudah bagiku. Aku akui, kalau diam-diam aku sering bertanya pada orang yang mengetahui keberadaan ayah. Diam-diam aku menangis dalam ketetapanku untuk tak mau berhubungan lagi dengannya. Dalam keacuhanku, dalam kebencianku, ingin sekali memperkenalkannya kepada anakku kalau dialah ayahku, dan dapat kau panggil dia Opa.
Senang melihat kehangatan keluarga istriku, ketika kami berkumpul, ada suasana yang sebenarnya aku pun rindu itu terjadi pada keluargaku.
"sayang..." Sapa Vina
"Iya..." Jawabku
"Pasti bisa dilewati dengan baik"
Mendengar kata itu, cukup membuatku sedikit tenang. Ya paling tidak ada Vina, sang penolong yang Tuhan bri dalam hidupku. Sang malaikat pemberian Tuhan sejak masa tersulitku kala itu hingga akhirnya sukses dapat ku genggam.
***
"Yah, besok jangan lupa berobat ya. maaf tidak bisa mengantar, karena besok harus kembali" kataku lembut
"Iya tidak apa-apa, ayah bisa sendiri" Jawab ayah
"pulang dulu ya yah" pamitku sambil memberi rangkulan pada ayah
"Ayah kami pulang" sambung Vina
Ini ke sebelas kalinya aku menemui ayah. Perlahan namun pasti, aku mulai terbiasa untuk mengunjunginya setiap kali aku berkunjung kekota ini. Dan benar kata Vina, lama kelamaan aku akan merasakan langkah kaki yang mulai lebih ringan. Tidak lagi merasakan sesak ketika ingatan tentang masa itu muncul. Dan seperti hari ini, ada rasa yang beda ketika akhirnya aku merangkulnya, setelah sekian lama aku lupa bagaimana seharusnya hubungan seorang anak dan ayah itu terjalin.
Ya... sekejam apapun dia saat itu, dia tetap ayahku. Dan Lihatlah betapa miripnya wajahku dengan wajah ayah
By NonaHana
130711 - 22.37 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar